Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 September 2012

Asal - Usul Tuban Jawa Timur

Asal - Usul Tuban Jawa Timur

Dinamakan Tuban. Dulunya Tuban bernama Kambang Putih Sudah sejak abad ke-11 sampai 15 dalam berita-berita para penulis China (pada jaman dinasti Song Selatan 1127-1279 dan dinasti Yuan (Mongol) 1271-1368 sampai jaman dinasti Ming th.1368-1644 5)

Tuban disebut sebagai salah satu kota pelabuhan utama di pantai Utara Jawa yang kaya dan banyak penduduk Tionghoanya. Orang Cina menyebut Tuban dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. Pasukan Cina-Mongolia (tentara Tatar), yang pada th. 1292 datang menyerang Jawa bagian Timur (kejadian yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit) mendarat di pantai Tuban. Dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya kemudian meninggalkan P.Jawa untuk kembali ke negaranya6 (Graaf, 1985:164). Tapi sejak abad ke 15 dan 16 kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari garis pantai. Sesudah abad ke 16 itu memang pantai Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Keadaan geografis seperti ini membuat kota Tuban dalam perjalanan sejarah selanjutnya sudah tidak menjadi kota pelabuhan yang penting lagi (Graaf, 1985:163).Untuk mengurangi kesimpang siuran tentang hari jadi kota Tuban Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tuban (waktu itu dijabat Drs. Djoewahiri Martoprawiro), menetapkan tanggal 12 Nopember 1293 sebagai hari jadi kota Tuban7. Panitia kecil yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tuban waktu itu memberi alasan bahwa ditetapkannya tanggal tersebut karena bertepatan dengan diangkatnya Ronggolawe sebagai Adipati Tuban. Ronggolawe dianggap sebagai pahlawan bagi rakyat Tuban, dan dianggap sebagai Bupati pertama Tuban. Seperti halnya dengan kota-kota lain di Jawa pada umumnya sumber sejarah kota Tuban sangat sulit didapat. Bahan tulisan yang ada penuh dengan campuran antara sejarah dan legenda. Buku “Babad Tuban” yang ditulis oleh Tan Khoen Swie (1936)

Letaknya sumber air bersih tersebut (Sumur Srumbung) berjarak kurang lebih 10 m dekat pantai, tapi sumur (sumber air) tersebut tetap tawar dan segar,sumur srumbung ini dikisahkan bebas jejak perdebatan antara pendeka dari china dengan sunan Bonang, yang pada akhirnya sunan bonan menancapkapkan tongkatnya di bibir pantai yang akhirnya keluar air yang tawar..yang sekarang hampir hilang terkena abrasi yang diakibatkan gelombang laut yangterus mengikis bibir pantai utara tanah jawa.

Sumber lain tentang sejarah dan legenda tentang kota Tuban lihat: Soeparmo, R. (1983), Tujuh Ratus Tahun Tuban, dan buku: Hari Jadi Tuban (1987), Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tuban.

Tuban, yang kalau dilihat dari arah laut, seolah-olah seperti batu putih yang terapung (watu kambang putih dalam bahasa Jawa). Sumber ini didapat dari buku : Soeparmo, R. (1983), Tujuh Ratus Tahun Tuban, dan buku Hari Jadi Tuban (1987), Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tuban.

Laporan Ma Huan yang mengiringi Cheng Ho dalam pelayaran ke 3 (1413-1415), mencatat bahwa kalau orang Cina pergi ke jawa, kapal-kapal lebih dulu sampai ke Tuban, baru kemudian meneruskan perjalanannya ke Gresik, kemudian dilanjutkan ke Surabaya, baru dari sana menuju ke pusat kerajaan Majapahit (di daerah sekitar Mojokerto sekarang) dengan memakai perahu kecil lewat sungai Brantas. (dikutip dari :Ying Yai Sheng Lan dalam buku Nusa Jawa, Denys Lombard Jilid 3)

Tuban

Kabupaten Tuban

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kabupaten Tuban
Lambang Kabupaten Tuban.png
Lambang Kabupaten Tuban
Motto: Tuban Bumi Wali

Locator kabupaten tuban.png

Peta lokasi Kabupaten Tuban
Koordinat:
Provinsi Jawa Timur
Dasar hukum -
Tanggal 12 November
Ibu kota Kota Tuban
Pemerintahan
 - Bupati Drs. KH. Fathul Huda,M.M.
 - Wabup Ir.H. Noor Nahar Hussein,M.Si.
 - DAU Rp. 606.247.946.000,-[1]
Luas 1.904,70 km2
Populasi
 - Total ± 1.2 juta
 - Kepadatan {{{kepadatan}}}
Demografi
Pembagian administratif
 - Kecamatan 19
Kabupaten Tuban adalah sebuah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya berada di kota Tuban. Luasnya adalah 1.904,70 km² dan panjang pantai mencapai 65 km. Penduduknya berjumlah sekitar 1 juta jiwa. Tuban disebut sebagai Kota Wali karena Tuban adalah salah satu kota di Jawa yang menjadi pusat penyebaran ajaran Agama Islam namun beberapa kalangan ada yang memberikan julukan sebagai kota tuak karena daerah Tuban sangat terkenal akan penghasil minuman (tuak & legen) yang berasal dari sari bunga siwalan (ental). Beberapa obyek wisata di Tuban yang banyak dikunjungi wisatawan adalah Makam Wali, contohnya Sunan Bonang, Makam Syeh Maulana Ibrahim Asmaraqandi (Palang), Sunan Bejagung dll. Selain sebagai kota Wali, Tuban dikenal sebagai Kota Seribu Goa karena letak Tuban yang berada pada deretan Pegunungan Kapur Utara. Bahkan beberapa Goa di Tuban terdapat stalaktit dan Stalakmit. Goa yang terkenal di Tuban adalah Goa Akbar, Goa Putri Asih, dll. Tuban terletak di tepi pantai pulau Jawa bagian utara, dengan batas-batas wilayah: utara laut Jawa, sebelah timur Lamongan, sebelah selatan Bojonegoro, dan barat Rembang dan Blora Jawa Tengah

Daftar isi

Pemerintahan

Kecamatan

Kabupaten Tuban terdiri dari 20 kecamatan yaitu:

Kelurahan di Kota Tuban

Sedangkan Kota Tuban sendiri terdiri dari 17 kelurahan yaitu:

Nama-nama Bupati Tuban

Mengetahui sejarah Tuban belum lengkap tanpa mengetahui nama-nama bupati yang pernah memimpin Kabupaten Tuban tercinta ini. Periode kepemimpinan di Kabupaten Tuban dapat dikelompokkan menjadi dua periode yaitu sebelum kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Berikut nama-nama Bupati Tuban beserta periode kepemimpinannya:
Nama Bupati sebelum kemerdekaaan Republik Indonesia (1945):
  • 1. RA. DANDANG WATJONO ( 1264-1282 )
  • 2. RH. RONGGOLAWE ( 1282-1291 )
  • 3. RH. SIROLAWE ( 1291-1306 )
  • 4. RA. SIROWENANG ( 1306-1326 )
  • 5. RH. LENO ( 1326-1349 )||
  • 6. RH. DIKORO ( 1349-1401 )||
  • 7. RA. TEJO ( 1401-1419 )
  • 8. RH. WILWOTIKTO ( 1419-1460 )
  • 9. KH. NGRASEH ( 1460-1507 )
  • 10. KA. GELILANG ( 1507-1553 )
  • 11. KA. BATUBANG ( 1553-1573 )
  • 12. RH. BALEWOT ( 1573-1628 )
  • 13. P. SEKARTANJUNG ( 1628-1661 )
  • 14. P. NGANGSAR ( 1661-1668 )
  • 15. P.H. PERMALAT ( 1669-1686 )
  • 16. P. SALAMPE ( 1686-1707)
  • 17. P.H. DALAM ( 1700-1707 )
  • 18. P. POJOK ( 1707-1723 )
  • 19. P. ANOM ( 1723-1730 )
  • 20. P. SOEDJONO POETRO ( 1730-1737 )
  • 21. RA. BALABAR ( 1737-1748 )
  • 22. P. SOEDJONO POETRO ( 1748-1755
  • 23. RA. JOEDONGORO ( 1755-1766 )
  • 24. RA. SURYO DININGRAT ( 1766-1773 )
  • 25. RA. DIPOSENO ( 1773-1779 )
  • 26. KT. TJOKRONEGORO ( 1779-1792 )
  • 27. KT. POERWONEGORO ( 1792-1799 )
  • 28. K. LIEDER SOERODINEGORO ( 1799-1802 )
  • 29. R. SOEROADIWIDJOJO ( 1802-1814 )
  • 30. P.TJITROSUMO VI ( 1814-1821 )
  • 31. P.TJITROSUMO VII ( 1821-1841 )
  • 32. P.TJITROSUMO VIII ( 1841- 1861 )
  • 33. P.TJITROSUMO XI ( 1861-1883 )
  • 34. RM SOEMOBROTO ( 1883-1893 )
  • 35. RA. KOESOEMADIGDO ( 1893-1909 )
  • 36. RA. PRINGGOWINOTO ( 1909-1919 )
  • 37. RA. PRINGGODIGDO ( 1919-1927 )
  • 38. R.M.A.A. KOESUMOBROTO ( 1927-1944 )
  • 39. RT. SOEDIRMAN H ( 1944-1946)
Nama Bupati setelah kemerdekaan Republik Indonesia ( 1945 )
  • 1. KH. MOESTA’IN (1946-1956)
  • 2. R. SOENDAROE (1956-1958)
  • 3. R.ISTOMO (1958-1959)
  • 4. R. SANDJOJO (1959-1960)
  • 5. M. WIDAGDO (1960-1968)
  • 6. R. SOEPARMO (1968-1970)
  • 7. R.H. IRCHAMNI (1970-1975)
  • 8. MOCH. MASDUKI (1975-1980)
  • 9. SOERATI MOESRAM (1980-1985)
  • 10. Drs. DJOEWAHIRI MARTO PRAWIRO (1985-1991)
  • 11. Drs. SJOEKOR SOETOMO (1991-1995)
  • 12. H. HINDARTO (1996-2001)
  • 13. Dra. H. HAENY RELAWATI RINI WIDYASTUTI, M.Si (2001-2006)
  • 14. Dra. H. HAENY RELAWATI RINI WIDYASTUTI, M.Si (2006-2011)
  • 15. Drs. KH.FATHUL HUDA,M.M. (2011-Sekarang).
Itulah nama-nama bupati yang pernah memimpin kabupaten Tuban.

Asal usul

Kota Tuban memiliki asal usul dalam beberapa versi yaitu yang pertama disebut sebagai TU BAN yang berarti waTU tiBAN (batu yang jatuh dari langit) yaitu batu pusaka yang dibawa oleh sepasang burung dari Majapahit menuju Demak, dan ketika batu tersebut sampai di atas Kota Tuban, batu tersebut jatuh dan dinamakan Tuban. Adapun versi yang kedua yaitu berarti meTU BANyu berarti keluar air, yaitu peristiwa ketika Raden Dandang Wacana (Kyai Gede Papringan) atau Bupati Pertama Tuban yang membuka Hutan Papringan dan anehnya, ketika pembukaan hutan tersebut keluar air yang sangat deras. Hal ini juga berkaitan dengan adanya sumur tua yang dangkal tapi airnya melimpah, dan anehnya sumur tersebut dekat sekali dengan pantai tapi airnya sangat tawar. Ada juga versi ketiga yaitu TUBAN berasal dari kata 'Tubo' atau Racun yang artinya sama dengan nama kecamatan di Tuban yaitu Jenu.

Geografi

Luas wilayah Kabupaten Tuban 183.994.561 Ha, dan wilayah laut seluas 22.068 km2. Letak astronomi Kabupaten Tuban pada koordinat 111o 30' - 112o 35 BT dan 6o 40' - 7o 18' LS. Panjang wilayah pantai 65 km. Ketinggian daratan di Kabupaten Tuban bekisar antara 0 - 500 mdpl. Sebagian besar wilayah Kabupaten Tuban beriklim kering dengan kondisi bervariasi dari agak kering sampai sangat kering yang berada di 19 kecamatan, sedangkan yang beriklim agak basah berada pada 1 kecamatan. Kabupaten Tuban berada pada jalur pantura dan pada deretan pegunungan Kapur Utara. Pegunungan Kapur Utara di Tuban terbentang dari Kecamatan Jatirogo sampai Kecamatan Widang, dan dari Kecamatan Merakurak sampai Kecamatan Soko. Sedangkan wilayah laut, terbentang antara 5 Kecamatan, yakni Kecamatan Bancar, Kecamatan Tambakboyo, Kecamatan Jenu, Kecamatan Tuban dan Kecamatan Palang. Kabupaten Tuban berada pada ujung Utara dan bagian Barat Jawa Timur yang berada langsung di Perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah atau antara Kabupaten Tuban dan Kabupaten Rembang.Tuban memiliki titik terendah, yakni 0 m dpl yang berada di Jalur Pantura dan titik tertinggi 500 m yang berada di Kecamatan Grabagan. Tuban juga dilalui oleh Sungai Bengawan Solo yang mengalir dari Solo menuju Gresik

Ekonomi

Pada 2010, Produk Domestik Regional Bruto mencapai 15,47 trilyun. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1,12 juta jiwa, pendapatan perkapita diperkirakan mencapai Rp 11,27 juta per tahun. Sebagai perbandingan, pendapatan perkapita Jawa Timur adalah Rp 20,7 juta per tahun.
Sektor perekonomian utama adalah perdagangan, industri pengolahan dan pertambangan. Perdagangan menyumbang output sebesar Rp 3 trilyun, sedangkan industri pengolahan dan pertambangan masing-masing sebesar Rp 2,9 trilyun dan Rp 1,8 trilyun. Pertumbuhan ekonomi pada 2010 mencapai 6,39%, di mana angka pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor pertambangan sebesar 11,8%.
Kawasan industri Tuban mencapai 50 ribu hektar yang tersebar di 10 kecamatan. Zona 1 di kecamatan Bancar dengan luas 5,802 hektar. Zona 2 34,000 hektar dan Zona 3 9,225 hektar.
Usaha rakyat yang cukup berkembang adalah budidaya padi, budidaya sapi potong, budidaya kacang tanah, penangkapan ikan laut, dan penggalian batu kapur. Sentra padi dan kacang terdapat di sepanjang aliran Bengawan Solo. Pada 2010, jumlah ternak sapi diperkirakan mencapai 1.323 ekor dengan sentra sapi di Kecamatan Bancar. Tangkapan ikan diperkirakan mencapai 9.185 ton.

Agenda Budaya

Kebudayaan asli Tuban beragam, salah satunya adalah sandur. Budaya lainnya adalah Reog yang banyak ditemui di Kecamatan Jatirogo. Namun ada hal menarik ketika memperingati Haul Sunan Bonang, dimana ribuan umat muslim dari seluruh Indonesia tumpah ruah memadatai kota khususnya kompleks pemakaman Sunan Bonang. Ada juga Ulang Tahun Klenteng Kwan Sing Bio yang sudah masuk dalam agenda kota dan ada juga sedekah bumi bagi masyarakat pesisir.

Pendidikan

Kualitas Pendidikan di Tuban tergolong baik. Terbukti dengan adanya sekolah yang bertaraf internasional, antara lain SMP Negeri 1 Tuban, SMP Negeri 3 Tuban, SMA Negeri 1 Tuban, dan SMK Negeri 1 Tuban. SMP Negeri 5 Tuban serta puluhan SMP dan SMA lain bertaraf nasional. Menurut rencana, ada 1 SD yang akan bertaraf internasional, yakni SD Negeri 1 Kebonsari dan 2 SMP, yakni , SMP Negeri 5 Tuban, dan SMP Negeri 1 Rengel. Berbagai event lomba dijuarai oleh pelajar Tuban. Banyak di antaranya adalah sekolah yang berkecimpung dalam dunia Karya Ilmiah Remaja, diantaranya adalah MTsN Tuban, MTs Tarbiyatul Ulum-Pekuwon, SMP Negeri 1 Tuban, SMP Negeri 3 Tuban, SMP Negeri 4 Tuban, SMP Negeri 6 Tuban, SMP Negeri 7 Tuban, SMP Negeri 1 Rengel, SMP Negeri 1 Jenu, SMP Negeri 1 Jatirogo, SMP Negeri 1 Singgahan,SMA Negeri 3 Tuban,SMA Negeri 1 Tuban, SMA Negeri 2 Tuban, SMA Negeri 3 Tuban, SMA Negeri 4 Tuban, SMA Negeri 5 Tuban,SMA Tarbiyatul Ulum, MAN TUBAN, MAS MANBAIL FUTUH JENU, SMP Negeri 2 Rengel, dll. Di tahun 2010, SMP Negeri 2 Rengel yang dipimpin Kepala Sekolah Bapak Witono, S.Pd., M.Pd notabenenya salah satu sekolah pelosok, ternyata mampu meraih juara I dalam lomba KBK (Kelompok Budaya Kerja) tingkat kabupaten Tuban yang sekaligus mewakili Kabupaten Tuban dalam event yang sama di tingkat propinsi tahun 2011 di Sumenep Madura. Disamping itu, SMP Negeri 2 Rengel juga mendapat anugerah sebagai juara II dalam lomba Tuban Kinarya Nugraha dalam rangka Hari Jadi Kota Tuban Tahun 2010, juga SMP Negeri 2 Rengel pada tahun yang sama mendapat juara II dalam lomba Manajemen BOS tingkat Kabupaten. Ini menunjukkan bahwa pendidikan di Tuban, khususnya di tingkat SMP sudah baik kualitasnya dan menyebar ke seluruh pelosok, tidak cuma sekolah yang berada di ibukota kabupaten saja. ada juga SMK terbaik di kota Tuban, yaitu SMK Taruna Jaya Prawira Tuban.
Selain Universitas Sunan Bonang ada institut pendidikan tinggi baru, yaitu [[Universitas PGRI Ronggolawe]UNIROW], yang pada awalnya dikenal sebagai IKIP PGRI TUBAN di Jalan Manunggal. Jurusan bahasa Inggris dari institut ini telah kerjasama dengan sebuah organisasi sukarela Inggris yang bernama Voluntary Service Overseas sejak tahun 1989. Setelah tiga sukarelawan, organisasi lain, yaitu Volunteers in Asia yang berasal dari Amerika Serikat meneruskan tradisi ini dengan mengekspos mahasisiwa serta dosen yang kurang sempat berlatih bahasa sehari-hari. Ketua jurusan Bapak Agus Wardhono telah menjadi doktor (S-3) dalam bidang Linguistik Inggris di [[Universitas Negeri Surabaya], ada juga STITMA di jl. Manunggal [ utara UNIROW] dan ada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama STIKES NU Tuban yang diresmikan oleh Menkes RI dr. Hj. Siti Fadilah Supari pada tahun 2009

Tempat Vital Kota Tuban

Sebagai Kabupaten, Tuban memiliki tempat penting seperti Kantor Bupati Tuban, Pendopo Kridho Manunggal (yang pernah dirusak dan dibakar massa pada kerusuhan Pilkada Tahun 2006), Kantor DPRD, Masjid Agung Tuban, GOR Rangga Jaya Anoraga, Klenteng Kwan Sing Bio (klenteng yang menghadap ke laut sebelah Utara)

Tuban Tempo Doeloe

Pemerintahan Kabupaten Tuban ada sejak tahun 1293 atau sejak pemerintahan Kerajaan Majapahit. Pusat pemerintahannya dulu adalah di Desa Prunggahan Kulon kecamatan Semanding dan kota Tuban yang sekarang dulunya adalah Pelabuhan karena dulu Tuban merupakan armada Laut yang sangat kuat. Asal nama Tuban sudah ada sejak pemerintahan Bupati Pertama yakni Raden Dandang Wacana. Namun, pencetusan tanggal harijadi Tuban berdasarkan peringatan diangkatnya Raden Haryo Ronggolawe pada 12 November 1293. Tuban dulunya adalah tempat yang paling penting dalam masa Kerajaan Majapahit karena memiliki armada laut yang sangat kuat.

Tuban Pada Masa Penyebaran Agama Islam

Tuban tidak hanya menjadi tempat penting pada masa Kerajaan Majapahit, namun Tuban juga menjadi tempat penting pada masa penyebaran Agama Islam. Hal tersebut dikarenakan Tuban berada di pesisir Utara Jawa yang menjadi pusat Perdagangan arab, dll yang sedang menyebarkan Agama Islam. Hal ini juga berkaitan dengan kisah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga adalah putra dari Bupati Tuban VIII Raden Tumenggung Haryo Wilotikto. Sunan Kalijaga dikenal sebagai Brandal Loka Jaya, karena sebelum jadi Wali Sunan Kalijaga adalah brandal (preman) yang suka mencuri hasil kekayaan Kadipaten Tuban. Namun, hasil curian tersebut untuk para Fakir Miskin. Lama-kelamaan, perbuatan tersebut diketahui oleh ayah Sunan Kalijaga dan diusir dari Kadipaten Tuban. Dalam pengasingannya, Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga) bertemu dengan Sunan Bonang. Sunan Bonang memiliki Tongkat emas yang membuat Raden Syahid menjadi ingin memiliki tongkat tersebut. Sesaat kemudian, Sunan Kalijaga merebut tongkat emas dan Sunan Bonang jatuh tersungkur. Sunan Bonang menangis dan Sunan Kalijaga merasa iba. Akhirnya Sunan Kalijaga mengembalikan Tongkat Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga bertanya bagian mana yang membuat beliau kesakitan. Namun, Sunan Bonang menangis bukan karena kesakitan, tapi beliau menangis karena memutuskan rumput dan beliau berkata bahwa beliau merasa kasihan karena rumput yang tidak bersalah harus mati tercabut karena kesalahan beliau. Sesaat kemudian, beliau menancapkan Tongkat di Pesisir dan menyemburkan air. Tempat tersebut dinamai Sumur Srumbung. Setelah itu, Sunan Bonang menunjukkan Buah Aren yang berwarna emas. Raden Syahidpun tergoda dan memanjat pohon aren tersebut, tapi sebuah aren menimpa kepala beliau dan beliaupun pingsan. Setelah sadar, Raden Syahid diajak Sunan Bonang menuju Sungai di daerah Sekardadi Kecamatan Jenu. Di sana, beliau menjaga tongkat Sunan Bonang yang ditancapkan pada sebuah batu. Anehnya, beliau tertidur selama 2 tahun. setelah sadar, Raden Syahid diberi pakaian dhalang oleh Sunan Bonang dan di Juluki Sunan Kalijaga, maksudnya Kali dalam bahasa Indonesia berarti sungai, dan Jaga dimaksudkan karena sudah menjaga tongkat Sunan Bonang.

Tuban Pada Masa Penjajahan

Perjuangan masyarakat Tuban dalam melawan penjajah sangatlah gigih. Dengan bersenjatakan Bambu Runcing, mereka melawan penjajah. Namun, strategi masyarakat Tuban adalah dengan menggunakan Tuak, maksudnya, Penjajah disuguhi minuman memabukkan tersebut. Ketika mereka sudah tidak sadarkan diri, mereka menyerang dan menghancurkan pos dan benteng pertahanan penjajah.

Tuban Pada Masa Kini

Seiring kemajuan zaman, Tuban sekarang tidak sepenting dulu. Tuban sekarang sudah mulai dilupakan oleh masyarakat Indonesia, padahal Tuban mengandung nilai sejarah tinggi dan besar peran serta perjuangan masyarakat Tuban dalam melawan penjajah itu sudah mulai luntur dalam dunia pemerintahan Indonesia saat ini.
Semen Gresik yang terkenal besar di Indonesia pada masa sekarang juga beroperasi dan mendirikan pabrik di daerah Tuban. Selain itu di Tuban juga terdapat beberapa industri skala internasional, terutama dibidang minyak & Gas. Perusahaan yang beroperasi di Tuban antaralain PETROCHINA (di kecamatan Soko) yang menghasilkan minyak mentah, serta ada juga PT. Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI)& PERTAMINA TTU (di kecamatan Jenu)dan pada tahun 2010 akan dibangun Pabrik Semen Holcim & Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang akan dibangun didaerh Jenu
Untuk pendidikan Tuban tidak kalah dengan daerah lain dipulau jawa, sudah sangat sedikit masyarakat Tuban yang buta huruf bahkan tinggal seberapa persennya, untuk pendidikan rata-rata masyarakat sudah mencapai pendidikan SMA. lulusan-lulusan SMA di Tuban sudah banyak yang melanjutkan studinya ke Universitas negeri terkenal seperti UI, UGM, ITB, dll.

Infrastruktur

Seiring dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah, pembangunan infrastruktur di Kabupaten Tuban boleh dikatakan sangat baik sekali, mungkin terbaik untuk kategori Kabupaten Seluruh Indonesia. Ini dibuktikan dengan pembangunan jalan (pengaspalan) diseluruh wilayah kabupaten, sekarang jalan-jalan di Kabupaten Tuban yang dulu belum diaspal dan masih menggunakan tanah kadam, kini setiap jalan desa, gang-gang sudah halus itu bertujuan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Tuban, khususnya yang berasal di daerah pelosok.

Kesehatan

Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Tuban tergolong cukup baik, ada 4 rumah sakit besar di kabupaten ini, 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Koesmo yang terletak di Jl. dr. Wahidin SH. 2. Rumah Sakit Medika Mulia yang berada di Jl. Majapahit (Belakang Pasar baru Tuban), 3. Rumah Sakit Nahdlatul Ulama Tuban di Jl. Letda Sucipto, 4. Rumah sakit Muhammadiyah di Jl. P. Diponegoro. dan sebentar lagi akan ada Rumah Sakit Bina Husada yang segera beroperasi di Jl. Panglima Sudirman. Untuk memenuhi kebutuhan kesehatan tiap kecamatan juga ada Puskesmas yang pembangunan dan pelayanannya terus ditingkatkan untuk mengantisipiasi masyarakat yang berada jauh dari perkotaan.

Obyek Wisata dan Cinderamata

Di kota Tuban kita bisa mengunjungi beberapa obyek wisata, di antaranya Gua Akbar, Masjid Agung, Makam Sunan Bonang,Klenteng Kwan Sing Bio (menghadap laut dan ke Utara), Ngerong Rengel, Pemandian dan Kolam Renang Bektiharjo (terkenal dengan banyaknya monyet disekitar situ), Air Panas Prataan, Air Terjun Nglirip,Goa Suci,Makam Syeh Maulana Ibrahim Asmaraqandi, Pantai BoomTerminal Wisata Laut Tuban (Terminal Bis yang didalamnya terdapat wisata bahari). Cenderamata khas yang bisa dibeli adalah kain tenun (batikgedog) dengan motif yang sangat khas. Motif khas ini juga bisa kita temui dalam bentuk kaos, baju wanita, dan selendang yang bisa didapatkan di daerah Kecamatan Kerek. Disamping itu ada juga cinderamata berupa miniatur tempat berjualan Legen (minuman khas tuban) yang disebut "ONGKEK". Bentuknya seperti tempat berjualan Soto tetapi terbuat dari bambu. Miniatur ini banyak dijual di toko yang menjual oleh-oleh khas Tuban di pinggir jalan pantura. Selain itu, Tuban juga terkenal sebagai kota Tuak (atau toak dalam bahasa lokal). Tuak adalah cairan (legen)dari tandan buah pohon lontar (masyarakat menyebutnya uwit bogor) yang difermentasikan sehingga sedikit memabukkan karena mengandung alkohol. Sedianya legen dibuat menjadi gula jawa, atau dapat juga langsung diminum sebagai minuman yang menyegarkan dan tentu saja, tidak memabukkan, selain itu buah dari pohon lontar (ental atau siwalan ) ini juga bisa dimakan dan berasa manis serta kenyal. Potensi yang belum dikembangkan adalah Wisata Gua dan Wisata Bahari. Tuban terkenal dengan sebutan kota 1000 gua karena banyaknya gua dan banyak diantaranya yang tersambung satu sama lain antar gua. sayangnya gua-gua ini masih belum dieksplorasi dan dipatenkan oleh pemerintah. Wisata di Tuban sejatinya dapat meningkat pesat, melihat Tuban sangat potensial. yaitu tempat yang memiliki nilai historikal tinggi, banyaknya hutan-hutan perawan, pantai Utara yang landai, ombak yang kecil, tanah berkapur, jalan pantura yang sering dilewati sebagai sarana bisnis (bis antar propinsi maupun truk-truk besar)

Dampak Positif & Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Di Indonesia (1830-1870)

Dampak Positif & Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Di Indonesia (1830-1870)

Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van Den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah. Dalam membebankan Van Den Bosch denagn tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan yang parah dari keuangan negeri Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah Belanda dibebani hutang – hutang yang besar. Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan- pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri. 
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman – tanaman dagang untuk diekspor ke pasaran dunia. Walaupun antara sisitem eksploitasi VOC dan sistem tanam paksa terdapat persamanaan, khususnya dalam hal penyerahan wajib, namun pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam dan jauh lebih menggoncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih 2 abad. Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang yaitu hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang dilakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. Van Den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan pajak in natura ini tanaman dagang bisa dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli – pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan besar bagi pemerintah dan penguasa – penguasa Belanda.

Sistem tanam paksa pada hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam paksa merupakan penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara tahun 1830 hingga 1870, namun disisi lain tanam paksa juga memiliki dampak positif beserta segala kebermanfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penyusun tertarik untuk melakukan satu kajian terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa. Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu khasanah pengetahuan baru mengenai kerugian dan keuntungan pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.

A.    Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
Pelaksanaan Sistem tanam paksa tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi sebagai berikut:
  1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
  2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
  6. Panen tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan pihak rakyat.
  7. Penduduk desa mengerjakan tanah – tanah meeka dibawah pengawasan kepala –kepala mereka, sedangkan pegawai – pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman – tanaman agar berjalan dengan baik dan tepat waktu.                 
Menurut ketentuan-ketentuan diatas memang tidak terlihat pemerintah Belanda menekan rakyat. Namun di dalam prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali menyimpang jauh dari ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak dirugikan (Kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7). Dalam menjalankan tanam paksa pemerintah Belanda menggunakan ikatan komunal dan ikatan desa untuk mengorganisir masyarakat. Van den bosch menggunakan pengaruh para bupati sehingga kekuasaan para bupati menjadi luas selain itu para bupati dan kepala desa mendapatkan cultuurprocenten disamping pendapatan yang didapat dari pemerintah, cultuurprocenten ini presentase tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman tanaman ekspor yang diserahkan kepada pegawai Belanda, bupati dan kepala desa jika mereka berhasil mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada setiap desa. Cara-cara ini tentu saja menimbulkan banyak penyelewengan yang merugikan rakyat karena pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa mempunyai keuntungan sendiri dalam usaha untuk meningkatkan produksi tanaman dagang untuk ekspor.
 Salah satu akibat yang sangat penting dari tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah milik bersama (komunal). Hal ini dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial cenderuing memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada setiap desa. Jika para pegawai pemerintah Belanda misalnya harus mengadakan persetujuan yang terpisah dengan setiap petani, memperoleh seperlima bidang tanah mereka, hal ini akan mempersulit mereka. Maka akan jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan desa.
B.     Dampak Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Sebagaimana dijelaskan dimuka, sistem tanam paksa yang diterapkan itu pada dasarnya adalah penghidupan kembali sistem eksploitasi dari jaman VOC yang berupa penyerahan wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa merupakan merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Maka, ciri pokok sistem tanam paksa terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang, bukan dalam bentuk uang.
Dalam prakteknya, pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis. Dapat dikatakan bahwa antara peraturan dan pelaksanaan sangat berbeda. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan, karena dilakukan dengan cara paksaan, bukan dengan persetujuan sukarela.
Mengenai penyelewangan peraturan ini, Fauzi (1999) berpendapat sebagaiman berikut:
“…..bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5 bagian, tapi lebih luas kira-kira 1/3 atau 1/2 bagian, bahkan sering seluruh desa. Demikian pula pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut jumlahnya. Juga kegagalan panen dibebankan pada penduduk, yang sebenarmya harus menjadi beban pemerintah.”
Secara garis besar sistem tanam paksa ini telah menimbukan berbagai akibat pada kehidupan masyarakat pedesaan di Pulau Jawa, yaitu menyangkut tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa telah mencampuri sistem pemilikan tanah di pedesaan, karena para petani diharuskan untuk menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Perubahan ini telah menyebabkan pergeseran sistem penguasaan dan pemilikan tanah. sistem tanam paksa juga membutuhkan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman, dan lain-lain. Kerja paksa ini sangat memberatkan penduduk, selain karena tidak diberi upah, juga karena tugas pekerjaan yang harus dikerjakan secara fisik cukup berat.
Adapun dampak negatif pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia, secara garis besar dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
  1. Meluasnya bentuk milik tanah bersama(komunal) tujuannya mempermudah menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini berarti kepastian hukum individu telah lepas.
  2. Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan salah satunya dari cultuurprocenten.
  3. Tanah tanah pertanian  yang harus dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian di desa.
  4.  Disintegrasi struktur sosial masyarakat desa.
C.    Dampak Positif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan  menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia untuk komoditi tropis (Fauzi, 1999:31). Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui betapa pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah memberikan keuntungan yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah menimbulkan berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat di pedesaan.
Dalam tanam paksa, jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam adalah kopi, tebu, dan indigo. Dengan diperkenalkannya tanaman-tanamn ekspor ini maka masyarakat dapat mengetahui tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran internasional. Dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman ekspor, maka tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun disisi lain sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Dampak positif dari sistem tanam paksa itu sendiri dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
  
  1. Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila, lada, tebu.
  2. Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran samapai lapisan terbawah masyarakat Jawa.
  3. Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang. 
  4. Berkembangnya industialisasi di pedesaan

Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap kekuasaan Kolonial.

Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap kekuasaan Kolonial.

B. Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap kekuasaan Kolonial.

I. Perlawanan rakyat di Indonesia sebelum tahun 1800.
a. Perlawanan Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis
Sejak kedatangan bangsa Portugis di Ternate tahun 1512 Portugis berusaha memonopoli perdagangan sehingga menimbulkan kebencian rakyat Ternate, tahun 1565 rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan Harun berusaha menyerang Benteng Santo Paulo, tetapi gagal bahkan Sultan harun dapat ditangkap dan dibunuh.Perlawanan kemudian dilanjutkan oleh Sultan Baabullah (putranya) dan berhasil menguasai Benteng Santo Paulo sehingga Portugis diusir dari Ternate dan pergi ke Maluku selanjutnya menyingkir ke Timur Timor.

b. Perlawanan Sultan Agung (Mataram).
Untuk menwujudkan cita-citanya menguasai seluruh Pulau Jawa, Sultan mengirim pasukan kerajaan Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia, serangan pertama pada tahun 1628 tetapi gagal karena pasukan Mataram kehabisan perbekalan.
Pada tahun 1629 untuk kedua kalinya Kerajaan Mataram menyerang VOC di Batavia tetapi juga mengalami kegagalan, perlawanan-perlawanan rakyat Mataram terhadap VOC terus berlanjut, antara lain perlawanan di bawah pimpinan Tronojoyo, perlawanan untung Senopati, perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said.

c. Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC
Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, namun putranya Sultan Haji bersahabat dengan Belanda, hal ini menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam urusan Istana Kerajaan Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mencopot kekuasaan tahta kerajaan dari Sultan Haji. Sultan Haji minta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia dan tahta kerajaan diserahkan kepada Sultan Haji, namun di control oleh VOC.

d. Perlawanan rakyat Makasar terhadap VOC (1654 – 1655).
Perlawanan rakyat Makasar terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Penyebab terjadi perlawanan adalah :
1. Belanda menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap.
2. Belanda mengadakan blokade ekonomi terhadap Makasar.
3. Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan Belanda di Makasar.

Dalam pertempuran VOC mengalami kesulitan untuk menundukan Makasar, setiap terdesak Belanda mengajukan perjanjian damai dengan Makasar, perjanjian damai tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat pasukannya. Dalam menghadapi Makasar, Belanda kemudian bersekutu dengan Aru Palaka (Raja Bone), yang merupakan musuh Sultan Hasanuddin. Akhirnya Belanda berhasil menguasai Makasar dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang sangat merugikan Makasar.

3. Perlawanan rakyat di Indonesia sesudah tahun 1800.



1. Perlawanan rakyat Maluku dibawah pimpinan Pattimura.

Sewenang-wenang yang dilakukan VOC di Maluku kembali dilanjutkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda setelah berkuasa kembali pada tahun 1816 dengan berakhirnya pemerintah Inggris di Indonesia tahun 1811-1816. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda di bawah ini menyebabkan timbulnya perlawanan rakyat Maluku.

a. Penduduk wajib kerja paksa untuk kepentingan Belanda misalnya di perkebunan-perkebunan dan membuat garam.
b. Penyerahan wajib berupa ikan asin, dendeng dan kopi.
e. Banyak guru dan pegawai pemerintah diberhentikan dan sekolah hanya dibuka di kota-kota besar saja.
d. Jumlah pendeta dikurangi sehingga kegaitan menjalankan ibadah menjadi terhalang.
e. Secara khusus yang menyebabkan kemarahan rakyat adalah penolakan Residen Van den Berg terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipisah sesuai dengan harga sebenarnya.

Siapakah tokoh perlawanan rakyat Maluku dan di manakah perlawanan itu berkobar. Perhatikan gambar tokoh dan peta sebagaian daerah Maluku di berikut ini.

1817 rakyat Saparua mengadakan pertemuan dan menyepakati untuk memilih Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) untuk memimpin perlawanan. Keesokan harinya mereka berhasil merebut benteng Duurstede di Saparua sehingga residen Van den Berg tewas. Selain Pattimura tokoh lainnya adalah Paulus Tiahahu dan puterinya Christina Martha Tiahahu. Anthoni Reoak, Phillip Lattumahina, Said Perintah dan lain-lain. Perlawanan juga berkobar di pulau-pulau lain yaitu Hitu, Nusalaut dan Haruku penduduk berusaha merebut benteng Zeeeland.

Untuk merebut kembali benteng Duurstede, pasukan Belanda didatangkan dari Ambon dibawah pimpinan Mayor Beetjes namun pendaratannya digagalkan oleh penduduk dan mayor Beetjes tewas. Pada bulan Nopember 1817 Belanda mengerahkan tentara besar-besaran dan melakukan sergapan pada malam hari Pattimura dan kawan-kawannya tertangkap. Mereka menjalani hukuman gantung pada bulan Desember 1817 di Ambon. Paulus Tiahahu tertangkap dan menjalani hukuman gantung di Nusalaut. Christina Martha Tiahahu dibuang ke pulau Jawa. Selama perjalanan ia tutup mulut dan mogok makan yang menyebabkan sakit dan meninggal dunia dalam pelayaran pada awal Januari tahun 1818.

Sejak Belanda berkuasa di Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci, dendam kepada Belanda. Dibawah pimpinan Pattimura (Thomas Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den Berg. Belanda kemudian minta bantuan ke Batavia, sehingga perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung bulan Desember 1817. Dalam perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita yang bernama Christina Martha Tiahahu.

2. Perang Paderi (1821 – 1838).

Pada mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum ulama. Yang disebabkan oleh :
1) Adanya perbedaan pendapat antara kaum ulama dengan kaum adat. Kaum ulama terpengaruh gerakan Wahabi menghendaki pelaksanaan Ajaran Agama Islam berdasarkan Al’Quran dan Hadist.
2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan mabuk.
Karena terdesak kaum adat minta bantuan kepada Belanda, tetapi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk menghadapi Belanda, karena terdesak Belanda mengirim bantuan dari Pulau Jawa yang diperkuat oleh Pasukan Sentot Ali Basa Prawirodirjo, tapi kemudian Sentot Ali Basa Prawirodirjo berpihak kepada kaum Paderi sehingga Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Dengan siasat Benteng Stelsel pada tahun 1837 Belanda mengepung Bonjol, sehingga Imam Bonjol ditangkap dan dibuang ke Cianjur kemudian dipindahkan ke Menado hingga wafat tahun 1864.






3. Perang Diponegoro (1825 – 1830).
Penyebab terjadi Perang Diponegoro adalah :
1. Sebab umum
a. Penderitaan dan kesenggaraan rakyat akibat pajak.
b. Campur tangan Belanda dalam urusan istana.
c. Munculnya kecemasan dikalangan para ulama karena berkembangnya Budaya Barat.

2. Sebab khusus
Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur Diponegoro tanpa minta izin terlebih dahulu.
Dalam perang ini Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa Prawirodirjo. Sementara Belanda menggunakan siasat Benteng Stelsel yang bertujuan untuk mempersempit gerak Pasukan Diponegoro.
Pasukan Diponegoro semakin lemah terlebih lagi pada tahun 1829 Kyai Mojo dan Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh Jenderal De Kock namum perundingan mengalami kegagalan dan Diponegoro di tangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makasar dan meninggal di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Pengeran Diponegoro

4. Perlawanan Rakyat Bali.
Bangkitnya perlawanan Rakyat Bali terhadap Belanda disebabkan oleh
1. Sebab Umum
Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa setiap kapal yang terdampar diperairan Bali menjadi milik Raja Bali.

2. Sebab Khusus
Menyangkut tuntutan Belanda terhadap Raja-raja Bali yang ditolak berisi :
1. Hak Tawan Karang dihapuskan.
2. Raja harus memberi perlindungan terhadap pedagang-pedagang Belanda di Bali.
3. Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali.

Perlawanan Rakyat Bali dipimpin oleh Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan Buleleng yang didukung oleh Kerajaan-kerajaan di Bali seperti Kerajaan Badung, Kerajaan Klungkung dan Kerajaan Buleleng.

Dalam pertempuran melawan Belanda rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan pusat pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena pasukan Belanda menggunakan persenjataan yang lebih lengkap akhirnya Bali dapat dikuasai oleh Belanda.

5. Perang Aceh. (1873-1904)
Perlawanan rakyat Aceh merupakan perlawanan yang paling lama dan juga terakhir bagi Belanda dalam rangka Pax Netherlandica. Perlawanan dipimpin oleh para Bangsawan (Tengku) dan para tokoh ulama (Tengku) seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Penglima Polem, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dan lain-lain.

Salah satu penyebab terjadinya peperangan karena Belanda melanggar Perjanjian Traktat London tahun 1824 yang berisi bahwa Inggris dan Belanda tidak boleh mengganggu ke merdekaan Aceh. Untuk menguasai Aceh, Belanda menggunakan cara seperti Konsentiasi Stelsel dan mendatangkan ahli Agama Islam yaitu Snouch Hurgronye.
Cara ini dapat mempersempit ruang gerak pasukan Aceh dan dari Snouch Hurgronye Belanda mengetahui kehidupan rakyat Aceh dan cara – cara menaklukan Aceh. Sehingga akhirnya Aceh dapat dikuasai oleh Belanda, kemudian Raja-Raja didaerah yang berhasil dikuasai oleh Belanda diikat dengan Plakat Pendek yang isinya :
1. Mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
2. Tidak akan mengadakan hubungan dengan negara lain.
3. Taat dan patuh pada Pemerintah Belanda

Dampak Positif & Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Di Indonesia

Dampak Positif & Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Di Indonesia (1830-1870)

Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van Den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah. Dalam membebankan Van Den Bosch denagn tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan yang parah dari keuangan negeri Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah Belanda dibebani hutang – hutang yang besar. Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan- pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri. 
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman – tanaman dagang untuk diekspor ke pasaran dunia. Walaupun antara sisitem eksploitasi VOC dan sistem tanam paksa terdapat persamanaan, khususnya dalam hal penyerahan wajib, namun pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam dan jauh lebih menggoncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih 2 abad. Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang yaitu hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang dilakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. Van Den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan pajak in natura ini tanaman dagang bisa dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli – pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan besar bagi pemerintah dan penguasa – penguasa Belanda.

Sistem tanam paksa pada hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam paksa merupakan penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara tahun 1830 hingga 1870, namun disisi lain tanam paksa juga memiliki dampak positif beserta segala kebermanfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penyusun tertarik untuk melakukan satu kajian terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa. Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu khasanah pengetahuan baru mengenai kerugian dan keuntungan pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.

A.    Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (1830-1870)
Pelaksanaan Sistem tanam paksa tertuang dalam ketentuan-ketentuan pokok dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1834, no 22 berbunyi sebagai berikut:
  1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
  2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan in tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
  6. Panen tanaman dagangan yang gaagl harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan pihak rakyat.
  7. Penduduk desa mengerjakan tanah – tanah meeka dibawah pengawasan kepala –kepala mereka, sedangkan pegawai – pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman – tanaman agar berjalan dengan baik dan tepat waktu.                 
Menurut ketentuan-ketentuan diatas memang tidak terlihat pemerintah Belanda menekan rakyat. Namun di dalam prakteknya pelaksanaan sistem tanam paksa sering sekali menyimpang jauh dari ketentuan-ketentuan di atas, sehingga rakyat banyak dirugikan (Kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7). Dalam menjalankan tanam paksa pemerintah Belanda menggunakan ikatan komunal dan ikatan desa untuk mengorganisir masyarakat. Van den bosch menggunakan pengaruh para bupati sehingga kekuasaan para bupati menjadi luas selain itu para bupati dan kepala desa mendapatkan cultuurprocenten disamping pendapatan yang didapat dari pemerintah, cultuurprocenten ini presentase tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari penjualan tanaman tanaman ekspor yang diserahkan kepada pegawai Belanda, bupati dan kepala desa jika mereka berhasil mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada setiap desa. Cara-cara ini tentu saja menimbulkan banyak penyelewengan yang merugikan rakyat karena pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa mempunyai keuntungan sendiri dalam usaha untuk meningkatkan produksi tanaman dagang untuk ekspor.
 Salah satu akibat yang sangat penting dari tanam paksa adalah meluasnya bentuk tanah milik bersama (komunal). Hal ini dikarenakan para pegawai pemerintah kolonial cenderuing memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa sebagai satu keseluruhan untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas penanaman paksa yang dibebankan pada setiap desa. Jika para pegawai pemerintah Belanda misalnya harus mengadakan persetujuan yang terpisah dengan setiap petani, memperoleh seperlima bidang tanah mereka, hal ini akan mempersulit mereka. Maka akan jauh lebih mudah untuk menetapkan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan desa.
B.     Dampak Negatif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Sebagaimana dijelaskan dimuka, sistem tanam paksa yang diterapkan itu pada dasarnya adalah penghidupan kembali sistem eksploitasi dari jaman VOC yang berupa penyerahan wajib. Dalam perumusannya, sistem tanam paksa merupakan merupakan penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan sistem pajak tanah. Maka, ciri pokok sistem tanam paksa terletak pada keharusan rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk barang, bukan dalam bentuk uang.
Dalam prakteknya, pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah-daerah sering tidak sesuai dengan ketentuan yang tertulis. Dapat dikatakan bahwa antara peraturan dan pelaksanaan sangat berbeda. Contohnya, penyediaan tanah untuk tanaman yang diminta pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan, karena dilakukan dengan cara paksaan, bukan dengan persetujuan sukarela.
Mengenai penyelewangan peraturan ini, Fauzi (1999) berpendapat sebagaiman berikut:
“…..bagian tanah penduduk yang diminta untuk ditanami tanaman wajib bukan 1/5 bagian, tapi lebih luas kira-kira 1/3 atau 1/2 bagian, bahkan sering seluruh desa. Demikian pula pembayaran setoran hasil tanaman banyak yang tidak ditepati menurut jumlahnya. Juga kegagalan panen dibebankan pada penduduk, yang sebenarmya harus menjadi beban pemerintah.”
Secara garis besar sistem tanam paksa ini telah menimbukan berbagai akibat pada kehidupan masyarakat pedesaan di Pulau Jawa, yaitu menyangkut tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa telah mencampuri sistem pemilikan tanah di pedesaan, karena para petani diharuskan untuk menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Perubahan ini telah menyebabkan pergeseran sistem penguasaan dan pemilikan tanah. sistem tanam paksa juga membutuhkan tenaga kerja rakyat secara besar-besaran untuk penggarapan lahan, penanaman, dan lain-lain. Kerja paksa ini sangat memberatkan penduduk, selain karena tidak diberi upah, juga karena tugas pekerjaan yang harus dikerjakan secara fisik cukup berat.
Adapun dampak negatif pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia, secara garis besar dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
  1. Meluasnya bentuk milik tanah bersama(komunal) tujuannya mempermudah menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini berarti kepastian hukum individu telah lepas.
  2. Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan salah satunya dari cultuurprocenten.
  3. Tanah tanah pertanian  yang harus dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian di desa.
  4.  Disintegrasi struktur sosial masyarakat desa.
C.    Dampak Positif Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia (1830-1870) bagi negeri Belanda telah mampu menghapuskan utang-utang internasionalnya bahkan  menjadikannya sebagai pusat perdagangan dunia untuk komoditi tropis (Fauzi, 1999:31). Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui betapa pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia ini telah memberikan keuntungan yang melimpah bagi negeri Belanda, namun tidak halnya bagi masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia, sistem tanam paksa telah menimbulkan berbagai akibat pada masyarakat pedesaan utamanya berkaitan dengan hak kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan. Meskipun demikian, pelaksaan sistem tanam paksa sedikit banyak juga telah memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat di pedesaan.
Dalam tanam paksa, jenis tanaman wajib yang diperintahkan untuk ditanam adalah kopi, tebu, dan indigo. Dengan diperkenalkannya tanaman-tanamn ekspor ini maka masyarakat dapat mengetahui tanaman apa saja yang bernilai jual tinggi di pasaran internasional. Dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat tradisional tentang tanaman ekspor, maka tentunya etos kerja masyarakat akan mengalami peningkatan.
Sistem tanam paksa dapat diibaratkan sebagai 1 keping uang logam, disatu sisi pelaksanannya telah memunculkan satu kerugian bagi masyarakat pedesaan Indonesia, namun disisi lain sistem tanam paksa juga memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Dampak positif dari sistem tanam paksa itu sendiri dapat dijabarkan sebagaimana berikut:
  
  1. Belanda menyuruh rakyat untuk menanam tanaman dagang yang bernilai jual untuk diekspor Belanda. Dengan ini rakyat mulai mengenal tanamn ekspor seperti kopi, nila, lada, tebu.
  2. Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran samapai lapisan terbawah masyarakat Jawa.
  3. Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang. 
  4. Berkembangnya industialisasi di pedesaan